Enter your keyword

Gambar Sebagai Senjata Rakyat Berjiwa Merdeka

Gambar Sebagai Senjata Rakyat Berjiwa Merdeka

Gambar Sebagai Senjata Rakyat Berjiwa Merdeka
Pameran Karikatur Yayak Yatmaka Dekaka

11-25 Oktober 2013

Pembukaan : 11 Oktober 2013 | 19:00 WIB
Diskusi : 18 Oktober 2013 | 14:00 WIB

Workshop : 17-18 Oktober 2013

Peluncuran Buku “Gambar Sebagai Senjata Rakyat Berjiwa Merdeka”
25 Oktober 2013

Karikatur atau suatu gambar yang dilebih-lebihkan sering juga disebut gambar sindiran. Dengan pengertiannya yang cukup luwes, karikatur tak hanya berarti sebuah gambar yang muncul di suratkabar atau majalah saja, imajinya bisa kita temukan di lukisan – maupun karya visual lainnya. Pengalaman melihat karikatur, bagi saya, cukup berbeda dengan melihat lukisan sekalipun keduanya memiliki, misalnya, niatan kritis yang sama. Karikatur itu tidak berjarak, agitatif, sarkastik, dan tak jarang menawarkan propaganda. Sifatnya yang langsung dan terkadang vulgar itu membuat kita bisa segera tercerahkan persis ketika melihatnya. Barangkali itulah sebabnya mengapa pada masa-masa tertentu seniman Indonesia memandang karikatur dengan sebelah mata dan kurang diakui sebagai seni. Karikatur dipandang kurang adiluhung ketimbang lukisan. Dan bahkan lukisan sekalipun, selama dikerjakan dengan teknik karikatural, tetap saja ditolak sebagai seni. Meskipun pengamat dewasa ini mengatakan bahwa batasan eksklusif seni semakin hilang, tetap saja orang menilai “rendah” karikatur ketimbang lukisan. Sejatinya, di hari sekarang, hirarki itu tidak perlu dipersoalkan lagi.

Seniman karikatur menggabungkan dua keterampilan sekaligus: bahasa gambar dan tekstual. Propaganda yang produktif, kata kritikus feminis Lucy Lippard, adalah suatu pekerjaan yang mengkombinasikan “gambar” dan “teks”. Kedua ini sangat efektif untuk mengemukakan isu-isu sosial politik. Karikatur bisa digunakan sebagai senjata untuk melakukan propaganda dan juga sekaligus counter melawan propaganda. Dalam kajian seni rupa itu merupakan suatu seni instrumentalis yang membalas estetika dengan menyatakan bahwa semua seni merupakan bentuk propaganda dan lebih menekankan nilai-nilai sosial.

Dalam pameran ini, Yayak juga menawarkan aforisme provokatif. Ini juga masalah lain. Fungsi dan kontribusi karikatur dalam seni rupa telah diperdebatkan semenjak lama. Karena itu, karikatur ditempatkan ke dalam instrumentalisme dengan meyakini bahwa seni harus berusaha untuk mempengaruhi masyarakat. Novelis dan kritikus seperti George Orwell percaya bahwa semua seni instrumental dan seni estetika adalah sama-sama bentuk propaganda.

Karikatur-karikatur kritis Yayak memperlihatkan komitmennya pada perubahan sosial politik tanahair. Ia leluasa masuk ruang personal dan komunal. Dalam konteks ini, tentu saja, karikatur adalah langkah yang paling efektif.

Aminudin TH Siregar